Mempengaruhi perilaku
a. Definisi
pengaruh
Berikut
ini adalah beberapa pengertian atau definisi dari “pengaruh” dilihat dari
berbagai tokoh:
Menurut
Wiryanto, pengaruh merupakan tokoh formal mauoun informal di dalam masyarakat,
mempunyai ciri lebih kosmopolitan, inovatif, kompeten, dan aksesibel dibanding
pihak yang dipengaruhi. Menurut M.Suyanto, pengaruh merupakan nilai kualitas
suatu iklan melalui media tertentu. Menurut Uwe Becker, pengaruh adalah
kemampuan yang terus berkembang yang - berbeda dengan kekuasaan - tidak begitu
terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan. (involed is
formatif vermogen dat - in tegens telling tot macht - niet direct verbonden is
met strijd en de doorzetting van belangen). Menurut Bertram Johannes Otto
Schrieke, pengaruh merupakan bentuk dari kekuasaan yang tidak dapat diukur
kepastiannya. Menurut, Albert Roberts & Gilbert pengaruh adalah wajah
kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki kewenangan
untuk mengambil keputusan. Terakhir, Menurut Jon Miller, pengaruh merupakan
komoditi berharga dalam dunia politik Indonesia.
Sedangkan menurut Norman Barry, pengaruh
adalah suatu tipe kekuasaan yang jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak
dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,
sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang
mendorongnya (influence is a type of power in that a person who is influenced
to act in a certain way may be said to be caused so to act, even though an overt
threat of santions will not be the motivating force). Lalu, menurut Robert
Dahl, pengaruh bisa diartikan sebagai “A mempunyai pengaruh atas B sejauh ia
dapat menyebabkan B untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”.
Dan menurut Sosiologi Pedesaan, pengaruh merupakan kekuasaan yang mengakibatkan
perubahan perilaku orang lain atau kelompok lain.
b. Kunci-Kunci
Perubahan Perilaku
Keadaan
yang buruk atau rusak merupakan persoalan yang sangat mempengeruhi masyarakat
dalam segala aspek kehidupan sekaligus mengganggu segala bentuk aktivitas yang
ada di masyarakat. Kemiskinan merupakan kondisi buruk dan satu-satunya
persoalan yang sistematik. Karena, kemiskinan menjadikan munculnya perilaku
kriminal yang tentu saja buruk. Sehingga perlu ada solusi sebagain bentuk
perubahan masyarakat dari kondisi miskin yang tidak berdaya, menjadi berdaya.
Dalam hal ini mereka akan memiliki potensi kritis dan gerak yang dapat
menggulangi segala bentuk persoalan kemiskinan.
Secara
definisi, masyarakat adalh kumpulan individu-individu yang salingberinteraksi
dan memiliki komponen perubahan yang dapat mengikat satu individu dengan individu
lain dengan perilakunya. Sedangkan perubahan merupakan peralihan kondisi yang
tadinya buruk, menjadi baik. Masyarakat yang berubah adalah masyarakat yang
terdiri dari satu individu kepribadian (personality) baik. Personality tidak
dibentuk dari performance dan style seseorang, melainkan dari adannya daya
intelektual dan perbuatan. Sebagai contoh, apakah Mandra yang berwajah
‘agraris’ lebih baik dibandingkan dengan Rano Karno? Bandingkan Mahatma Gandhi
dari kaum miskin yang mengubah masyarakat India menuju perubahan, sedangkan
Maria Eva & Yahya Zaini dari kaum kaya yang dulunya dikatakan representasi
suara masyarakat dengan perbuatan tak senonohnya yang membahayakan masyarakat,
terutama generasi muda.
Oleh
karena itu, kunci perubahan masyarakat adalah membentuk daya intelektual dan
perbuatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terjadilah
perubahan perilaku yang secara otomatis diikuti dengan perubahan masyarakat.
Maka, persoalan kemiskinan bisa berubah jika terjadi perubahan perilaku di
dalam masyarakat. Seperti yang disebutkan diatas personality itu
sendiri, dan bentuk personality adalah perilaku. Perilaku dibentuk
dari keterkaitan antara daya intelektual dan perbuatan. Artinya, bagaimana dia
berpikir begitulah dia berbuat, dan sebaliknya. Daya intelektual adalah potensi
alamiah manusia yang telah diberikan oleh Tuhan dengan maksud agar manusia
dapat menjadi khalifah di muka bumi, sekaligus menjauhkan dirinya dari
berperilaku seperti binatang. Daya intelektual ini bisa disebut dengan
‘idealisme’
Sementara
itu, perbuatan adalah aktualisasi kecendrungan manusia terhadap apa yang
dipikirkan. Perbuatan yang lahir tidak atas idealisme seseorang bukan merupakan
cerminan perbuatan yang dimaksud. Sekali lagi, hal yang kita inginkan adalah perilaku
yang tunggal, bukan ganda. Artinya, perbuatan terbentuk dari idealisme yang
satu. Jika perbuatan terbentuk dari idealisme lain-lain
berarti personality individu tersebut ‘gado-gado’ atau tidak jelas,
bahkan lahir sosok skeptisisme (munafik). Daya intelektual disatukan dengan
perbuatan akan melahirkan idealisme sejati.
Perilaku
yang akan menjadi kunci perubahan di masyarakat adalah sikap yang mampu melalui
berbagai benturan dengan gemilang, adanya kepercayaan diri tanpa batas, dan
tekad untuk terus berjuang hingga titik nadir. Perubahan masyarakat akan
berimplikasi terhadap perubahan individu, karena di dalamnya ada interaksi
sebagai kontrol sosial yang dapat mendidik manusia.
Bagaimana mempengaruhi orang lain?
Sebenarnya dalam
mempengaruhi pikiran orang lain tidaklah sulit dan tidaklah mudah, karena
sebagian orang mungkin mudah kita pengaruhi namun sebagian lainnya sangat sulit
juga untuk di pengaruhi. Kenapa sulit untuk mempengaruhinya? Karena kita tidak
tahu atau belum tahu cara bagaimana untuk meyakinkan mereka agar bisa memiliki
kesamaan dengan apa yang kita pikirkan.
Dalam hal ini ada beberapa keterangan dalam
mempengeruhi pikiran orang lain
Logical Argument (Logos)
Pendekatan
berdasarkan logical argument merupakan penyampaian ajakan menggunakan argumentasi
sebuah data-data yang ditemukan. Hal ini telah disinggung oleh komponen data.
Psychological Atau Emotional Argument
(Pathos)
Pendekatan
berdasarkan Psychological Atau Emotional Argument merupakan penyampaian
pendekatan ajakan menggunakan efek emosi positif dan negatif. Misalnya saja
dalam iklan yang menyenangkan, lucu dan maupun yang membuat kita berempati itu
termasuk dalam menggunakan pendekatan Psychological Argument yang bersifat
positif. Sedangkan iklan yang biasanya membuat kita muak, marah, menjenuhkan, itu
termasuk pendekatan Psychological Argument dengan efek emosi yang
negatif.
Argument Based On Credibility (Ethos)
Teknik pendekatan
seperti ini biasanya merupakan ajakan atau arahan yang akan diikuti oleh
komunikate atau audiens, karena komukiator mempunyai kredibilitas sebagai pakar
dalam bidang tersebut. Seperti contoh saat kita berobat dan menuruti
medis dari dokter, menuruti kemauan seorang pesulap, atau mematuhi perintah
dari dosen untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Mengapa demikian karena hal
ini semata-mata karena anda mempercayai kepakaran seseorang dala bidangnya.
Kemampuan
mempengaruhi bisa diartikan sebagai tindakan membujuk atau mengajak orang lain
untuk suatu tindakan atau penerimaan tertentu, dengan cara
a. Minta orang tersebut melakukan
sesuatu untuk anda
Seperti yang dikatakan oleh Benjamin
Franklin, “Mereka yang sudah pernah melakukan kebaikan untukmu akan lebih siap
untuk menolongmu lagi dimasa depan daripada mereka yang belum pernah
membantumu”.
Dengan begitu ketika dimasa depan anda
meminta orang tersebut untuk menolong anda lagi (bahkan dengan permintaan yang
lebih besar) dengan pengalaman anda dimasa lalu orang tertebut berfikiran bahwa
anda adalah figur yang layak untuk ditolong walaupun orang tersebut lebih sulit
untuk menlong permintaan anda daripada mereka yang belum pernah melakukan
sesuatu untuk anda sama sekali.
b. Sebut namanya dalam percakapan
Jika seseorang mendengar namanya disebut,
ia akan lebih memperhatikan lawan bicaranya dan ia akan juga merasa dihargai,
hal ini akan membuatnya sedikit lebih mudah untuk menuruti permintaan anda.
Oleh karena itu, berusahalah untuk menyebut namanya ketika anda berdua sedang
bercakap-cakap.
c. Berikan pujian
Pujian bisa menjadi senjata utama yang
ampuh untuk mempengaruhi orang lain sepanjang digunakan dengan tepat.
Berikanlaah pujian yang tulus dan tepat sesuai dengan kenyataan. Jangan sampai
anda memberikan pujian yang berbentuk kebohongan, justru ini bisa menyinggung
lawan bicara anda. Tetapi terlalu banyak memuji juga bisa membuat anda justru
tampak sedang menjilat orang tersebut, dan akibatnya orang tersebut akan
menjadi waspada dan menjaga jarak dari anda.
Pentingnya mempengaruhi orang – orang agar
bersedia menjadi pengikut, menaklukan daya tolak seseorang dan membuat
orang dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Selain itu mempercepat
proses perencanaan untuk segera mencapai tujuan yang akan dicapai.
c. Wewenang
Definisi wewenang menurut para ahli:
a.
Menurut
Louis A. Allen dalam bukunya, Management and Organization :
Wewenang adalah jumlah kekuasaan (powers)
dan hak (rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan.
b.
Menurut
Harold Koontz dan Cyril O’Donnel dalam bukunya, The Principles of Management :
Authority adalah suatu hak untuk memerintah /
bertindak.
c.
Menurut
G. R. Terry :
Wewenang adalah kekuasaan resmi dan
kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada
pihak yang memiliki wewenang itu.
d.
Menurut
R. C. Davis dalam bukunya, Fundamentals of Management :
Authority adalah hak yang cukup, yang
memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas atau kewajiban tertentu.
Jadi, Wewenang adalah dasar untuk
bertindak, berbuat dan melakukan kegiatan/aktivitas perusahaan. Wewenang
merupakan hasil delegasi atau pelimpahan wewenang dari atasan ke bawahan dalam
suatu organisasi.
Dua pandangan yang saling berlawanan
tentang sumber wewenang, yaitu:
Teori formal
(pandangan klasik) Wewenang merupakan anugrah, ada karena seseorang diberi atau
dilimpahi hal tersebut. Beranggapan bahwa wewenang berasal dari tingkat
masyarakat yang tinggi. Jadi pandangan ini menelusuri sumber tertinggi dari
wewenang ke atas sampai sumber terakhir, dimana untuk organisasi perusahaan
adalah pemilik atau pemegang saham.
Teori penerimaan
(acceptance theory of authority) Wewenang timbul hanya jika dapat diterima oleh
kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan. Pandangan ini
menyatakan kunci dasar wewenang oleh yang dipengaruhi (influencee) bukan yang
mempengaruhi (influencer). Jadi, wewenang tergantung pada penerima (receiver),
yang memutuskan untuk menerima atau menolak. Tanpa wewenang orang-orang dalam
perusahaan tidak dapat berbuat apa-apa.
Wewenang terbagi atas 3 jenis :
a. Line Authority (wewenang lini), wewenang
manajer yang bertanggung jawab langsung, di seluruh rantai komando organisasi,
untuk mencapai sasaran organisasi.
b. Staff Authority (wewenang staf),
wewenang kelompok, individu yang menyediakan saran dan jasa kepada manajer
lini.
c. Functional Authority (wewenang
fungsional), wewenang anggota staf departemen untuk mengendalikan aktivitas
departemen lain karena berkaitan dengan tanggung jawab staf spesifik.
Wewenang lini,
staff dan fungsional, dimiliki oleh manajer lini yang mengambil keputusan untuk
mencapai tujuan organisasi secara langsung. Dalam bagan organisasi, wewenang
lini digambarkan oleh garis yang menghubungkan manajemen puncak sampai ke
manajemen tingkat bawah.
Wewenang Staff
Dilakukan oleh orang atau kelompok orang
yang memberikan jasa atau nasehat kepada manajer lini. Staff ahli biasannya
merupaka istilah yang menggambarkan posisi tersebut. Staff ahli memberikan
nasehat berdasarkan keahlian, pengalamana, atau riset dan analisis yang
diperlukan,termasuk bantuan pelaksanaan kebijakan, monitor, dan pengendalian.
Wewenang Fungsional
Kadang organisasi mempunyai manajer atau
departemen yang mempunyai wewenang fungsional.
Delegasi Wewenang
Dapat diartikan sebagai penugasan wewenang
dan tanggung jawab formal organisasi kepada orang lain, dalam hal ini karyawan.
Wewenang dapat didelegasikan sesuai dengan prinsip skalar dari manajemen
klasik, yang mengatakan bahwa garis wewenang harus ditetapkan denganjelas dari
manajemen puncak sampai karyawan paling bawah. Delegasi wewenang bukan
merupakan pelepasan tanggung jawab.
Ada 2 pandangan mengenai sumber wewenang,
yaitu :
1. Formal, bahwa wewenang di anugerahkan
karena seseorang diberi atau dilimpahkan/diwarisi hal tersebut.
2. Penerimaan, bahwa wewenang seseorang
muncul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok/individu kepada siapa wewenang
tersebut dijalankan.
Persamaan
tanggung jawab dan wewenang adalah baik dalam teori, tetapi sukar dicapai.
Dapat disimpulkan, wewenang dan tanggung jawab adalah sama dalam jangka
panjang, dan dalam jangka pendek, tanggung jawab lebih besar peranannya dari
pada wewenang itu sendiri.
Wewenang
dan Peran Wewenang dalam Manajemen
Wewenang
(authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.Penggunaan
wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi.
Peranan pokok
wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda
formal, dimana manajer menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun
organisasi.Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar
kekuasaan dan pengaruh informal. Manajer perlu menggunakan lebih dari wewenang
resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga
tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka.
Jadi wewenang merupakan dasar untuk bertindak, berbuat, dan melakukan
kegiatan/aktivitas dalam organisasi (perusahaan). Tanpa wewenang, orang-orang
dalam organisasi tidak dapat berbuat apa-apa.
KEKUASAAN
Definisi
Kekuasaan
Gilbert W.
Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kemampuan individu untuk
mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain, bahkan ketika dihadapkan
pada penolakan mereka.” Fairholm lalu merinci sejumlah gagasan penting dalam
penggunaan kekuasaan secara sistematik dengan menakankan bahwa kapasitas
personal-lah yang membuat pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan
orang lain. Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah
karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang
digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan
interpersonalnya.
Gareth Morgan
dalam karya penelitiannya Images of Organization, mendefinisikan kekuasaan
sebagai “... medium lewat mana konflik kepentingan diselesaikan ... kekuasaan
mempengaruhi siapa dapat apa, kapan dan bagaimana ... kekuasaan melibatkan
kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki.”
Penulis lain semisal John A. Wagner and
John R. Hollenbeck justru menawarkan definisi kekuasaan dari para politisi
semisal Winston Churchill dan Bill Clinton, yaitu “ ... kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang
tidak bisa mereka tolak.” Sebab itu, Wagner and Hollenbeck mendefinisikan
kekuasaan sebagai“ ... kemampuan, baik untuk mempengaruhi perilaku orang lain
ataupun untuk melawan pengaruh yang tidak diinginkan.”
Studi Charles
McClelland menyebut bahwa kekuasaan adalah satu jenis kebutuhan (nPow) yang
dipelajari selama periode masa kecil dan dewasa seseorang. Kebutuhan akan
kekuasaan ini punya dampak berbeda pada cara orang berpikir dan berperilaku.
Umumnya, orang yang tinggi “nPow-nya” bersifat kompetitif, agresif, sadar prestise,
cenderung bertindak, dan bangga tatkala bergabung ke dalam kelompok.
Dalam konteks perilaku organisasi, John R.
Schemerhorn et.al. mendefinisikan kekuasaan sebagai “ ... kemampuan yang mampu
membuat orang melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal
menjadi kenyataan menurut cara yang kita inginkan.” Kekuasaan biasanya
dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan merupakan mekanisme
kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi.
Jeffrey Pfeiffer,
salah satu perintis kajian kekuasaan dan politik dalam organisasi
mendefinisikan kekuasaan sebagai“ ... the
potential ability to influence behavior, to change the course of events, to
overcome resistance, and to get people to do things that they would not
otherwise do.” ... kemampuan potensial untuk mempengaruhi perilaku, mengubah
arah peristiwa, mengatasi perlawanan, dan membuat orang melakukan sesuatu yang
tadinya tidak hendak mereka lakukan.
Richard
L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam organisasi
sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft
kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau
departemen) untuk mempengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan
perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Daft menyebut
definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan pemahaman bahwa kekuasaan
adalah kemampuan umtuk eraih tujuan atau hasil sebagaimana dikehendaki pemegang
kekuasaan. Pencapaian hasil yang dikehendaki adalah dasar utama dari definisi
kekuasaan. Definisi kekuasaan dari Daft sendiri adalah “ ... the ability of one
person or department in an organization to influence other people to bring
about desired outcomes.” Kekuasaan berpotensi untuk mempengaruhi orang lain
dalam organisasi dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang
kekuasaan.
Sumber-sumber
Kekuasaan Menurut French & Raven
Adapun sumber kekuasaan menurut French
& Raven ada 5 kategori yaitu;
1). Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
=> Kekuasaan imbalan seringkali
dilawankan dengan kekuasaan paksaan, yaitu kekuasaan untuk menghukum. Hukuman
adalah segala konsekuensi tindakan yang dirasakan tidak menyenangkan bagi orang
yang menerimanya. Pemberian hukuman kepada seseorang dimaksudkan juga untuk
memodifikasi perilaku, menghukum perilaku yang tidak baik/merugikan organisasi
dengan maksud agar berubah menjadi perilaku yang bermanfaat. Para manajer
menggunakan kekuasaan jenis ini agar para pengikutnya patuh pada perintah
karena takut pada konsekuensi tidak menyenangkan yang mungkin akan diterimanya.
Jenis hukuman dapat berupa pembatalan pemberikan konsekwensi tindakan yang
menyenangkan; misalnya pembatalan promosi, pembatalan bonus; maupun pelaksanaan
hukuman seperti skors, PHK, potong gaji, teguran di muka umum, dan sebagainya.
Meskipun hukuman mungkin mengakibatkan dampak sampingan yang tidak diharapkan,
misalnya perasaan dendam, tetapi hukuman adalah bentuk kekuasaan paksaan yang
masih digunakan untuk memperoleh kepatuhan atau memperbaiki prestasi yang tidak
produktif dalam organisasi.
2). Kekuasaan Imbalan (Insentif Power)
=> kemampuan seseorang untuk memberikan
imbalan kepada orang lain (pengikutnya) karena kepatuhan mereka. Kekuasaan
imbalan digunakan untuk mendukung kekuasaan legitimasi. Jika seseorang
memandang bahwa imbalan, baik imbalan ekstrinsik maupun imbalan intrinsik, yang
ditawarkan seseorang atau organisasi yang mungkin sekali akan diterimanya,
mereka akan tanggap terhadap perintah. Penggunaan kekuasaan imbalan ini amat
erat sekali kaitannya dengan teknik memodifikasi perilaku dengan menggunakan
imbalan sebagai faktor pengaruh.
3). Kekuasaan Sah (Legitimate Power)
=> kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain karena posisinya. Seorang yang tingkatannya lebih
tinggi memiliki kekuasaan atas pihak yang berkedudukan lebih rendah. Dalam
teori, orang yang mempunyai kedudukan sederajat dalam organisasi, misalnya sesama
manajer, mempunyai kekuasaan legitimasi yang sederajat pula. Kesuksesan
penggunaan kekuasaan legitimasi ini sangat dipengaruhi oleh bakat seseorang
mengembangkan seni aplikasi kekuasaan tersebut. Kekuasaan legitimasi sangat
serupa dengan wewenang. Selain seni pemegang kekuasaan, para bawahan memainkan
peranan penting dalam pelaksanaan penggunaan legitimasi. Jika bawahan memandang
penggunaan kekuasaan tersebut sah, artinya sesuai dengan hak-hak yang melekat,
mereka akan patuh. Tetapi jika dipandang penggunaan kekuasaan tersebut tldak
sah, mereka mungkin sekali akan membangkang. Batas-batas kekuasaan ini akan
sangat tergantung pada budaya, kebiasaan dan sistem nilai yang berlaku dalam
organisasi yang bersangkutan.
4). Kekuasaan Pakar (Expert Power)
=> Seseorang mempunyai kekuasaan ahli
jika ia memiliki keahlian khusus yang dinilai tinggi. Seseorang yang memiliki
keahlian teknis, administratif, atau keahlian yang lain dinilai mempunyai
kekuasaan, walaupun kedudukan mereka rendah. Semakin sulit mencari pengganti
orang yang bersangkutan, semakin besar kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan ini
adalah suatu karakteristik pribadi, sedangkan kekuasaan legitimasi, imbalan,
dan paksaan sebagian besar ditentukan oleh organisasi, karena posisi yang
didudukinya.
Contohnya ; Pasien – pasien dirumah sakit
menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah uang dianggap
paling ahli untuk menyembuhkan penyakit
5). Kekuasaan Rujukan (Referent Power)
=> Banyak individu yang menyatukan diri
dengan atau dipengaruhi oleh seseorang karena gaya kepribadian atau perilaku
orang yang bersangkutan. Karisma orang yang bersangkutan adalah basis kekuasaan
panutan. Seseorang yang berkarisma ; misalnya seorang manajer ahli, penyanyi,
politikus, olahragawan; dikagumi karena karakteristiknya. Pemimpin karismatik
bukan hanya percaya pada keyakinan – keyakinannya sendiri (factor atribusi),
melainkan juga merasa bahwa ia mempunyai tujuan-tujuan luhur abadi yang
supernatural (lebih jauh dari alam nyata). Para pengikutnya, di sisi lain, tidak
hanya percaya dan menghargai sang pemimpin, tetapi juga mengidolakan dan
memujanya sebagai manusia atau pahlawan yang berkekuatan gaib atau tokoh
spiritual (factor konsekuensi). Jadi, pemimpin kharismatik berfungsi sebagai
katalisator dari psikodinamika yang terjadi dalam diri para pengikutnya seperti
dalam proses proyeksi, represi, dan regresi yang pada gilirannya semakin
dikuatkan dalam proses kebersamaan dalam kelompok. Dalam masa puncaknya, Bung
Karno misalnya; diberi gelar paduka yang mulia, Panglima Besar ABRI, Presiden
seumur hidup, petani agung, pramuka agung, dan berbagai gelar yang lainnya.
KATEGORI
KEKUASAAN MENURUT FRENCH & RAVEN (1959)
• Kekuasaan Imbalan => target taat agar
ia mendapat ganjaran / imbalan yang diyakini dikuasai atau dikendalikan oleh
agent.
• Kekuasaan Paksaan => target taat agar
ia terhindar dari hukuman yang diyakini dan diatur oleh agent.
• Kekuasaan Sah => target taat karena ia
yakin bahwa agent mempunyai hak untuk membuat ketentuan atau peraturan dan
bahwa target mempunyai kewajiban untuk taat.
• Kekuasaan Pakar => target taat karena
ia yakin atau percaya bahwa agent mempunyai pengetahuan khusus tentang cara
yang terbaik untuk melakukan sesuatu.
• Kekuasaan Rujukan => target taat
karena ia memuja agent atau mengidentifikasi dirinya dengan agent dan
mengharapkan persetujuan agent.
LEADERSHIP
Teori
Leadership
a. Definisi leadership
Fiedler (1964, 1967)
Efektivitas
kepemimpinan tergantung pada persepsi pemimpin terhadap anggota kelompoknya.
Persepsi pemimpin terhadap anggotanya diukur berdasarkan pada pandangannya
terhadap anggotany yang paling lemah, peling rendah prestasinya atau paling
tidak disukai (LPC/Least Prefered Co-Worker). Kalau LPC dinilai tinggi,
pemimpin lebih tenang dalam bekerja, lebih demokratis, dan lebih mampu membagi
tanggung jawab kepada anggotanya. Akan tetapi, jika LPC rendah, pemimpin
cenderung bersikap keras, mau mengatur, dan otokratik. Walaupun demikian, tidak
berarti bahwa LPC rendah (otokratik) karena tergantung juga pada situasinya.
Ada situasi yang mendukung (favourable)
hasil kerja kelompok karena hubungan afektif (emosi) dengan anggota baik,
struktur tugas jelas, dan posisi kekuasaan pemimpin cukup baik. Akan tetapi,
ada juga situasi yang tidak mendukung (unfavorable) karena hubungan
atasan-bawahan kurang baik, struktur tugas tidak jelas, dan posisi kekuasaan
pemimpin lemah. Tipe kepemimpinan demokratis ternyata hanya baik untuk situasi
yang sedang (antara favorable dan unfavorable), sedangkan untuk situasi yang
ekstrem (sangat favorable atau sangat unfavorable tipe kepemimpinan otokratik
ternyata lebih baik). Fiedler mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal
performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi
dua yaitu :
(1). Berorientasi pada tugas
(2). Berorientasi pada maintenance
Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa
tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif pada dua set kondisi :
(1). Pada set yang pertama, pemimpin ini
sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan
pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi
dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi
melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan
sebaik-baiknya.
(2). Pada set yang kedua, pemimpin ini
tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak
jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini,
pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam
mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Hasil dari riset
ini adalah fungsi distribusi pada teori kepemimpinan yang perlu dimodifikasi
sebagai pengaruh kondisi situasional pada gaya kepemimpinan suatu grup. Teori
kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan
seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas
kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya
kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan
kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin
bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor
situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya. Sebagai landasan
studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi/lingkungan
yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan
(Position power).
Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan ini
berbeda dengan sumber kekua-saan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang
kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini
seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat
diperintah/dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana
kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational
authority).
b. Struktur tugas (task structur).
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa
selama tugas-tugas dapat dipe-rinci secara jelas dan orang-orang diserahi
tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas
itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut
telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan
dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam
pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas/kabur.
c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya
(Leader member relations).
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat
penting dan sudut pandangan seorang Pemimpin), apabila kekuasaan atas dasar
kedudukan/jabatan dan stuktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam
suatu badan usaha/organisasi dan selama anggota kelompok suka melakukan dan
penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya.
b. Kepemimpinan Partisipatif.
Kepemimpinan
partisipatif merupakan salah satu dari gaya kepemimpinan yang dipakai oleh
mereka yang dipercaya, yang dengan kepercayaan atau kredibilitasnya itu ia
kemudian memotivasi orang-orang dengan melibatkan mereka dalam proses
pengambilan keputusan. Dengan demikian, kepemimpinan partisipatif adalah
kepemimpinan yang memberikan ruang dan peran secara signifikan kepada bawahan
dalam menjalankan aktifitas proses pengambilan keputusan.
Ada beberapa unsur penting dan tidak
mungkin bisa dipisahkan dalam membentuk kepemimpinan partisipatif. Beberapa
unsur dimaksud adalah; konsultasi, pengambilan keputusan bersama, pembagian
kekuasaan, desentralisasi, serta manajemen yang demokratis. Oleh karena itu,
dalam konteks kepemimpinan partisipatif, beberapa yang juga patut diperhatikan
adalah, bahwa; pemimpin yang mengedepankan nilai –nilai partisipatif harus
memiliki pendidikan dan pengalaman luas, mengayomi, paham terhadap hak dan
wewenang, mawas diri, paham terhadap tujuan organisasi, bersikap wajar.
c. Teori X dan Teori Y Douglas Mx Gregor
Teori prilaku
adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan
pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan
oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer
/ pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para
pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y.
A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya
manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar
dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki
ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas
jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus
diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang
diinginkan perusahaan.
B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja
adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja
tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki
pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan.
Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami
tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak
harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.
Penelitian teori x dan y menghasilkan teori
gaya kepemimpinan ohio state yang membagi kepemimpinan berdasarkan skala
pertimbangan dan penciptaan struktur.
d. Teori sistem 4 dari Rensis Likert
Gaya kepemimpian
yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan. Ada
dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan. Dalam gaya yang
ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin memberikan petunjuk kepada
bawahan.
• Pemimpin selalu mengadakan pengawasan
secara ketat terhadap bawahan.
• Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa
tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai
dengan keinginannya.
• Pemimpin lebih menekankan kepada
pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan
pengembangan bawahan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang
berorientasi kepada karyawan atau bawahan ditandai dengan beberapa hal sebagai
berikut:
• Pemimpin lebih memberikan motivasi
daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
• Pemimpin melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan.
• Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan,
saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota
kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli
berusaha dapat menentukan mana di antara kedua gaya kepemimpinan itu yang
paling efektif untuk kepentingan organisasi atau perusahaan. Salah satu
pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan adalah ada empat
sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut
terdiri dari:
Sistem 1, otoritatif dan eksploitif:
manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah
para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara
kaku ditetapkan oleh manajer. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman;
komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan
dan bawahan memiliki jarak yang jauh;
Sistem 2, otoritatif dan benevolent:
manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan
untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai
fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Manajemen menggunakan penghargaan;,
informasi mengalir ke atas dibatasi untuk manajemen apa yang ingin didengar dan
keputusan kebijakan sementara datang dari atas beberapa keputusan yang
ditetapkan dapat dilimpahkan ke tingkat yang lebih rendah, atasan mengharapkan
kepatuhan bawahan
Sistem 3, konsultatif: manajer menetapkan
tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan
dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan – keputusan mereka
sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk
memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman. Manajemen menawarkan hadiah,
kadang-kadang hukuman; keputusan besar datang dari atas sementara ada beberapa
yang lebih luas keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi rincian
ke bawah ke atas sementara komunikasi penting hati-hati.
Sistem 4, partisipatif: adalah sistem yang
paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya
berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh
kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan
setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk
memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis
tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan
penting. Manajemen kelompok mendorong partisipasi dan keterlibatan dalam
menetapkan tujuan kinerja yang tinggi dengan beberapa penghargaan ekonomi;
komunikasi mengalir ke segala arah dan terbuka dan jujur dengan pengambilan
keputusan melalui proses kelompok dengan masing-masing kelompok terkait dengan
orang lain dengan orang-orang yang menjadi anggota lebih dari satu kelompok
yang disebut menghubungkan pin; dan bawahan dan atasan dekat. Hasilnya adalah
produktivitas yang tinggi dan lebih baik hubungan industrial.
Seorang manajer dan supervisor harus selalu
menyesuaikan perilaku memperhitungkan karyawan aktual, mengadaptasi
prinsip-prinsip umum untuk harapan-harapan, nilai-nilai dan keterampilan yang
mereka miliki. Organisasi harus menghasilkan kondisi yang mendorong setiap
manajer untuk menangani sensitif dengan mereka. Meskipun dimungkinkan untuk
memiliki pekerjaan yang terpusat, manajemen tangguh, yang dapat mencapai produktivitas
yang tinggi melalui sistem kontrol masih akan ada yang tidak menguntungkan
mereka dan kami sikap antara karyawan terhadap pekerjaan dan manajemen, dengan
pergantian buruh yang lebih tinggi dan lebih besar pekerja dan manajemen
konflik. Suatu organisasi harus memiliki kesatuan integratif di mana hal-hal
apa yang terjadi pada individu dan apa yang penting bagi organisasi adalah
sebagai satu.
Rensis Likert memperluas studi kepemimpinan
Michigan dengan penelitian ke dalam apa yang membedakan manajer yang efektif
dari manajer tidak efektif. Di New Patterns of Management (1961) ia menulis
bahwa "atasan dengan catatan terbaik, kinerja utama mereka fokus perhatian
pada aspek manusia bawahan mereka 'masalah dan berusaha untuk membangun
kelompok kerja yang efektif dengan tujuan kinerja tinggi. "Likert”
mendefinisikan dua gaya manajer :
1. Pekerjaan berpusat pada manajer,
ditemukan untuk menjadi yang paling produktif
2. Karyawan berpusat manajer, ditemukan
untuk menjadi yang paling efektif.
Likert juga menemukan bahwa manajer yang
efektif menetapkan tujuan-tujuan spesifik, tetapi memberikan kebebasan karyawan
dalam cara mereka mencapai tujuan tersebut. Hal ini telah disebut pengawasan
umum, sebagai lawan dari pengawasan yang ketat. Dalam jargon bisnis modern ini
disebut pemberdayaan.
Organisasi dan Karakteristik Kinerja Sistem
Manajemen Berbeda
Sistem 1 tidak percaya takut, ancaman, dan
hukuman sedikit interaksi, selalu ada ketidakpercayaan.
Sistem 2 master atau hamba imbalan dan hukuman sedikit
interaksi, selalu berhati-hati
Sistem 3 substansial tapi tidak lengkap
kepercayaannya penghargaan, hukuman, beberapa keterlibatan moderat interaksi,
beberapa kepercayaan
Sistem 4 kepercayaan penuh tujuan yang
didasarkan pada partisipasi dan perbaikan luas interaksi. Friendly, kepercayaan
yang tinggi.
e. Teori of Leadership Pattern Choice dari
Tannebaum dan Scmidt
Tannenbaum-Schmidt
Bagaimana bisa
seorang manajer mengatakan gaya manajemen apa yang digunakan? Pada tahun 1957,
Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt menulis salah satu artikel yang paling
revolusioner yang pernah muncul dalam The Harvard Business Review. Artikel ini,
berjudul “Bagaimana Memilih sebuah Pola Kepemimpinan, adalah signifikan dalam
bahwa itu menunjukkan gaya kepemimpinan adalah pilihan manajer. Di bagian atas
diagram di bawah ini anda akan melihat akrab “Hubungan Oriented” dan “Tugas
Berorientasi” kontinum, yang juga diberi label “Demokrasi” dan “otoriter.”
Diagram menunjukkan dimensi lain: “Sumber
Otoritas”. Pada akhir demokratis diagram, manajer memungkinkan kebebasan
karyawan. Pada akhir otoriter diagram kita melihat bahwa manajer adalah
satu-satunya sumber otoritas. Kita pergi dari otoritas buruh untuk otoritas
manajer. Berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan dan dengan pertanyaan
seperti manajer dapat demokratis terhadap bawahan, namun mempertahankan
otoritas yang diperlukan dan kontrol. untuk tujuan analisis mereka telah
menghasilkan sebuah kontinum perilaku kepemimpinan mulai dari autoritarian
styeles di satu ekstrem ke gaya demokratis di sisi lain, yang mereka sebut bos
s-berpusat dan berpusat pada bawahan tidak seperti orang lain model
kepemimpinan berusaha untuk menyediakan kerangka kerja untuk analisis dan
pilihan individu.
para penulis mengusulkan tiga faktor utama
yang menjadi pilihan tergantung pola kepemimpinan:
1. kekuatan di manajer (egattitudes,
kepercayaan, nilai-nilai)
2. kekuatan di bawahan (egtheir sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan dari pemimpin)
3. kekuatan dalam situasi (egpreasure dan
kendala yang dihasilkan oleh tugas-tugas, iklim organisasi dan lain-lain faktor
extrancous).
Tujuh “pola kepemimpinan” yang
diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Pola kepemimpinan ditandai dengan
angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip dengan gaya kepemimpinan, tetapi
definisi dari masing-masing terkait dengan proses pengambilan keputusan.
Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh
penggunaan wewenang oleh bawahan.
Otoriter (tugas berorientasi) pola
kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin.
Perhatikan bahwa sebagai penggunaan
kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh
pemimpin berkurang secara proporsional. Berikut adalah tujuh pola kepemimpinan
:
Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin izin bawahan
berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim
untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin
mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”
Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota
tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana
hari adalah yang terbaik.
Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan
masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin membuat keputusan.”
Contoh: Pemimpin meminta tim untuk
menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim
akan bertemu.
Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin tentatif
menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”
Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah
hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari
lain yang mungkin lebih baik.
Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan
ide-ide dan mengundang pertanyaan.”
Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia
sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan tim. Pemimpin
kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
Kepemimpinan Pola 6: “Para pemimpin membuat
keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”
Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota
tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan
anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 7: “Para pemimpin membuat
keputusan dan mengumumkan ke grup.”
Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan
bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak, dan mengatakan bahwa
berita itu kepada tim.
f. Model choice approach to participation
contingency teori of leadership dari fiedler
Teori
kepemimpinan model Vroom dan Yetton ini merupakan salah satu teori kontingensi.
Teori kepemimpinan Vroom dan Yetton disebut juga teori Normatif, karena
mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentana gaya kepemimpinan yang
sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Vroom danYetton memberikan beberapa
gaya kepemimpinan yang layak untuk setiap situasi.
Berikut ini saya
akan memberikan sebuah contoh pemimpin yang menggunakan gaya atau model teori
dari Vroom dan Yetton. Misalnya adalah suatu pemerintahan di dalam
masyarakat,dimana di dalam masyarakat ada ketua RT yang bertugas mimimpin
wilayah didaerah nya dan ada masyarakat sebagai anggota nya. Ketika menemui suatu
persolan atau permasalahan maka ketua RT akan mengumpulkan warga nya yang
berperan sebagai anggota untuk ikut berkumpul dan mencari pemecahan masalah
bersama-sama. Ketua RT akan menyampaikan permasalahan dan meminta saran
pemecahan kepada masyarrakatnya.Semua saran dari anggota di tampung dan
dievaluasi serta pemimpin dan para anggotanya bersama-sama mencari alternatif
pemecahan masalahnya. Semua alternative di evaluasi untuk mencapai tujuan
bersama dan untuk mencapai solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan.
Seorang ketua RT tidak mempengaruhi anggota masyarakat untuk mengikuti saran
darinya. Seorang ketua RT akan mengikuti saran alternatif pemecahan masalah
yang menurut para anggota nya adalah adalah alternatif yang paling baik.
Seorang ketua RT akan menerima saran pemecahan dan akan melaksanakan pemecahan
yang di dukung oleh seluruh anggota.
Menurut teori
Vroom dan Yetton seorang ketua RT menggunakan gaya kepemimpinan G-II,dimana
gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri :
Pemimpin memberitahukan persoalan kepada
bawahan sebagai satu kelompok.bersama-sama mereka ,pemimpin menghasilkan dan
menilai berbagai alternativepemecahan masalah dan berusaha untuk mencapai suatu
kesetujuan atau konsensus mengenai satu pemecahan. Peran pemimimpin mirip
seorang ketua. Pemimpin tidak mencoba untuk mempengaruhi kelompok untuk
menerima pemecahan. Pemempin bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap
pemecahan yang didukung oleh seluruh anggota kelompok.
g. Contingency theory of Leadership dari
Fiedler
Model Contingency
dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967). Menurut model
ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional
system of the leader and the degree to which the leader has control and
influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler,
1974:73).
Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya
prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan
sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi
tertentu.
Untuk menilai
sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam
bentuk skala semantc differential suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala
bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh
peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi”
(Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa
pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana
menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini
berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang
rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap
tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke
terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:
1. Pemimpin dengan skor LPC rendah
(pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik
dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan
pemimpin.
2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi (
pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik
dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler
menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi / lingkungan yang
mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan
(Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan
ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang
kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini
seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah /
dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh
berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority).
b. Struktur tugas (task structure)
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa
selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan
tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas
itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut
telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan
dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam
pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.
c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya
(Leader-member relations)
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat
penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan /
jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu
badan usaha / organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh
kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).
Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler
menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi
pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah
situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan
kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah
situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan
kekuasaan kedudukan sedikit.
h. Path Goal Theory
Dasar teori ini
adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai
tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang di
butuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path goal ini datang dari keyakinan
bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari
awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran di
sepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls
Model path goal menganjurkan bahwa
kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar
Fungsi pertama : memberi kejelasan alur
Fungsi kedua : meningkatkan jumlah hasil
(reward) bawahannya
Model kepemimpinan path-goal berusaha
meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini,
pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut
sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi
persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan
untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana
seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan
bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang
mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana
sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi
(path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan
memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara
usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan
nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling
efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil
yang bernilai tinggi.
MOTIVASI
Pengertian
motivasi
Menurut Weiner
(1990) yang dikutip Elliot et al. (2000), motivasi didefenisikan sebagai
kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita
mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan
tertentu. Menurut Uno (2007), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan
internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya;
hasrat dan minat; dorongan dan kebutuhan; harapan dan cita-cita; penghargaan
dan penghormatan. Lalu, Motivasi adalah sesuatu apa yang membuat seseorang
bertindak (Sargent, dikutip oleh Howard, 1999)
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan
motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha
untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Sardiman (2006) motif merupakan daya
penggerak dari dalam untuk melakukan kegaiatan untuk mencapai tujuan. Menurut
Hamalik (1992) motivasi adalah perubahan
energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan
dan reaksi untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, Samsudin (2005) memberikan
pengertian motivasi sebagai proses mempengaruhi atau mendorong dari luar
terhadap seseorang atau kelompok kerja agar mereka mau melaksanakan sesuatu
yang telah ditetapkan. Motivasi juga dapat diartikan sebagai dorongan (driving
force) dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan memperahankan
kehidupan.
Mangkunegara (2005,61) menyatakan :
“motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi
kerja di perusahaan (situation). Motivasi merupakan kondisi atau energi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positif terhadap
situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja
maksimal”. Berdasarkan pengertian di atas, maka motivasi merupakan respon
pegawai terhadap sejumlah pernyataan mengenai keseluruhan usaha yang timbul
dari dalam diri pegawai agar tumbuh dorongan untuk bekerja dan tujuan yang dikehendaki
oleh pegawai tercapai.
Teori
Drive Reinforcement dan Implikasi Praktisnya
Dasar pemikiran
teori ini adalah bahwa perilaku individual atau motivasi merupakan suatu fungsi
dari konsekuensi dari perilaku tersebut. perilaku yang diberi penguatan (dikuatkan)
cenderung diulang, sedangkan perilaku yang tidak diberi penguatan cenderung
akan ditinggalkan atau dilupakan atau hilang atau tidak muncul.
Strategi utama atau kontegensi penguatan
dengan penguatan (reinforce) positif : perilaku yang dikehendaki, perilaku
positif, keberhasilan diberi reward (hadiah, penghargaan, pujian dsb) agar
perilaku yg dikehendaki tersebut dipertahankan, diulang atau dengan kata lain
ada usaha dari pihak manajemen untuk meningkatkan kekuatan atau frekuensi
perilaku tersebut (positif, keberhasilan) dengan memberi reward.
Reinforce negatif : berusaha untuk
meningkatkan kekuatan atau frekuensi respon dari perilaku yg dikehendaki dengan
menghindarkan adanya stimulus negatif yang memungkinkan adanya respon yang
tidak dikehendaki ( misalnya, seorang karyawan mungkin bekerja lebih keras
untuk menghindari teguran, hukuman dari supervisor)
Punishment (hukuman): berupa perlakuan tertentu
fokusnya bertujuan untuk menghilangkan perilaku yang tidak dikehendaki
Extingtion : fokus untuk menurunkan,
mengurangi menghilangkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak dikehendaki
dengan cara tidak memberikan reward yang seharusnya diterima apabila melakukan
perilaku yang dikehendaki (karyawan tidak menerima pembagian bonus karena
kenerjanya tidak memenuhi standar).
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari
keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Beberapa teori,
termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau
instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah
mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran
(tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986).
Teori-teori drive yang lain telah
mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya,
dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian
dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang
berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman
keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan
untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam
realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi
atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag
tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain
mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang
berbeda.
Masih menurut Hull, suatu kebutuhan
biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan
aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa
makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need
reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance)
dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan
respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam
bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai
penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke
dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga
kerja., yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku
ini kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran
apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jika
jawaban yang benar dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang
diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.
Teori
Harapan dan Implikasi Praktisnya
Model teori
harapan dari Lawler menyajikan 4 asumsi :
1. Orang mempunyai pilian-pilihan antara
berbagai hasil-keluaran yang secara potensial yang dapat mereka gunakan. Hasil
keluaran alternative, juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals),
dapat disadari atau tidak oleh yang bersangkutan. Jika disadari, maknanya
serupa dengan penetapan tujuan-tujuan, jika tidak disadari, motivasi lebih
bercorak reactive.
2. Orang yang mempunyai harapan tentang
kemungkinan bahwa upaya (effort = E) akan mengarah ke prilaku unjuk kerja
(performance = P) yang dituju. Ini diungkap sebagi harapan E-P
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang
kemungkinan bahwa hail-hasil keluaran (outcomes - O) diperoleh setelah unjuk
kerja (P) mereka. Ini diungkapkan dalam rumusan harapan P-O.
4. Dalam setiap situasi ini,
tindakan-tindakan dan upaya yang berkaitan denan tindakan-tindakan tadi yang
dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapan-harapan (E-P
dan P-O) dan pilihan-pilihan yang dipunyai orang pada saat itu.
Model harapan dari Lawler menyatakan bahwa
besar kecilnya motivasi seseorang dapat dihitung dengan rumus sbb :
Indeks motivasi = jumlah (E-P) x jumlah
(P-O) (V)
Faktor-faktor yang menentukan E-P ialah
harga diri atau kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa,
situasi sekarang yang actual, komunikasi dari orang lain. Komponen ke -3 dari
model Lawler ialah harkat atau valence (V) yang mencerminkan bagaimana perasaan
anda terhadap hasil keluaran.
Teori
Tujuan dan Implikasi Praktisnya
Teori ini
menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap orang
menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Saat seseorang
menentukan tujuan yang jelas, kinerja biasanya meningkat sebab:
• Ia akan berorientasi pada hal hal yang
diperlukan
• Ia akan berusaha keras mencapai tujuan
tersebut
• Tugas tugas sebisa mungkin akan
diselesaikan
• Semua jalan untuk mencapai tujuan pasti
ditempuh
Teori ini
mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan
pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi
jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan
Goal Setting (penetapan tujuan). Penetapan tujuan juga dapat ditemukan dalam
teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai.
Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence) yang
berbeda-beda.
Proses penetapan
tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, diwajibkan
oleh organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa
sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan
ia akan memiliki keterikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai
tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki
motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk
menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu dapat terjadi
bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.
Teori
Hierarki Kebutuhan Maslow dan Implikasi Praktisnya
Kebutuhan dapat
didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara
satu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri. Apabila pegawai
kebutuhannya tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku
kecewa. Sebaliknya, jika kebutuhannya terpenuhi amak pegawai tersebut akan
memperlihatkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya.
Kebutuhan
merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin
memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Menurut Maslow dalam Basuki (2008) ada 5
macam kebutuhan manusia yang tersusun secara bertingkat sebagai suatu hierarki,
yaitu :
a.
Tingkat 1 :
Kebutuhan – kebutuhan fisik, mislanya :
makanan, air, seks, dan tidur. “physiological needs : food, watre, sex and
sleep”.
b.
Tingkat 2 :
Kebutuhan akan keamanan , misalnya :
perlindungan dari kejahatan “safety needs protection from harm”
c.
Tingkat 3 :
Kebutuhan akan rasa cinta dan diterima,
misalnya : affilasi dengan individu lain “Love and belonging needs: affiliation
with others and acceptance by others”.
d.
Tingkat 4 :
Kebutuhan akan penghargaan, mislanya :
prestasi, kompetensi, memperoleh pengakuan dan penghargaan “Esteem needs:
Achievment, Competency, gaining approval and recognitions”.
e.
Tingkat 5 :
Aktualisasi diri : pemenuhan kompetensi keunikan seseorang.
“Fulfillment of one’s unique potential”. Plotnik.
DAFTAR
PUSTAKA :
Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Sosial
(Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan). Balai Pustaka, Jakarta.
Sardiman,A.M.2006.Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar.Jakarta:Grafindo.
Hamalik,Oemar.2003.Proses
Belajar Mengajar.Bandung:Bumi Aksara.
Griffin,Ricky
W.(2004).Manajemen jilid 1 edisi 7.Jakarta : Erlangga
Fitriani.(2013).Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Partisipatif terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Pendidikan
Provinsi Kalimantan Timur. eJournal Administrasi Negara, 1(3) 2013 : 989-1002
Wijono,Sutarto.(2010).Psikologi
Industri&Organisasi: Dalam Suatu Bidang Geak Psikologi Sumber Daya
Manusia.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sunyoto Munandar,
Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
P.Siagian,
Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka
Citra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar